(SIARAN PERS)Peringati IWD, Ratusan Perempuan Tuntut Akhiri Kekerasan Seksual Dan Wujudkan Pemilu Bersih

BANDA ACEH – Ratusan perempuan dan kelompok muda dari berbagai unsur dan profesi mewakili kelompok dan organisasi perempuan yang tergabung dalam aksi bersama peringatan hari perempuan sedunia (Internasional Women’s Day) yang diperingati setiap 8 Maret menuntut akhiri kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta terwujudnya pemilu bersih di Aceh, 8 Maret, 2019.

Koordinator Aksi women’s march sekaligus Direktur Flower Aceh, Riswati menjelaskan tujuan dan bentuk aksi yang dilakukan pada tanggal 8 Maret 2019.

“Aksi setengah hari yang kami lakukan ini, bertujuan mengkampanyekan dan menggugah kepedulian semua pihak untuk mendukung pelaksanan Pemilu bersih dan upaya pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.”

Riswati menjelaskan aksi dimulai dengan long march berjalan kaki dari depan halaman mesjid raya menuju simpang lima dan membawa alat kampanye yang berisikan himbauan, tuntutan, dan harapan yang beragam terkait dengan tema IWD Aceh 2019, “melawan kekerasan seksual dan mewujudkan pemilu bersih untuk Aceh hebat. Proses long march diiringi oleh pemain musik rapa’i dan serune kalee.

Sepanjang perjalanan tampak beberapa difabel yang menggunakan kursi roda ikut serta dalam long-march dan memperingati hari perempuan sedunia 2019 di Aceh. Pada aksi kali ini juga ikut serta kelompok laki-laki dan kelompok anak remaja  perwakilan 23 provinsi di Aceh yang tergabung dalam Forum Anak Tanah Rencong (FATAR Aceh).

Lebih lanjut Riswati menjelaskan, aksi ini diisi dengan orasi oleh perwakilian lembaga dan tokoh perempuan atas berbagai ketidakadilan yang dialami oleh perempuan seperti kekerasan dan pelecehan seksual, perlindungan terhadap penyandang disabilitas dan pentingnya memberikan hak pilih serta mewujudkan pemilu bersih tanpa praktik politik uang dan politisasi SARA. Selain itu, juga dorongan untuk percepatan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang merupakan upaya perlindungan kepada warga negara Indonesia secara keseluruhan tanpa adanya diskriminasi dan berbasis nilai hak asasi manusia dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya Indonesia

Dalam beberapa orasi yang dipusatkan di tugu simpang lima, Banda Aceh, dinyatakan bahwa pentingnya penyelenggaraan pemilu bersih, jujur, dan adil, yang bebas dari politik uang.

Fasilitator Flower Aceh, Lilis Suryani menegaskan akan pentingnya pelaksanaan Pemilu Aceh yang bersih dan berintegritas, selain itu pentingnya juga komitmen semua pihak untuk peningkatan keterwakilan dan keterlibatan perempuan di bidang politik “karena tidak ada demokrasi tanpa partisipasi perempuan secara setara”. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Sekretaris Wilayak KPI Aceh, Clara yang mengatakan perempuan harus dipastikan berpartisipasi dalam proses perencanaan, pembangunan dan perdamaian di Aceh.

Orasi juga menyuarakan mengenai pentingnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin marak terjadi di indonesia, khususnya Aceh.

Koordinator RPuK, Laela Jauhari mengharapkan agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah progresif untuk penangaan kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh.

“Kami berharap pemerintah mengoptimalkan upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual serta mengupayakan adanya pemenuhan hak korban yang setiap tahun jumlah kasusnya semakin meningkat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberi dukungan untuk pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual.”

Hal senada disampaikan oleh Ketua Balai Syura, Khairani Arifin, “berbicara pelanggaran hak perempuan bukan hanya terjadi dalam lingkup domestik saja, namun juga lebih luas berhubungan dengan hak politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan dalam berbagai aspek yang lebih luas perempuan masih sering terlanggar hak asasinya. Untuk itu pemerintah harus memastikan semua pihak di Aceh dapat melakukan upaya pemenuhan hak perempuan untuk hidup bebas dari ancaman kekerasan dan diskriminasi serta memastikan keterlibatan semua pihak dalam pembangunan dan perdamaian Aceh yang berlangsung secara adil setara dan inklusi.

Direktur PKBI Aceh, Eva Khovivah mengatakan dampak dari kekerasan seksual pada perempuan berhubungan dengan kesehatan mental dan fisik. “Berbagai macam reaksi dapat mempengaruhi korban. Efek dan dampak kekerasan seksual, termasuk perkosaan dapat mencakup trauma fisik, emosional, dan psikologis pada korban. Bahkan ada yang berujung pada kematian. Selain itu kekerasan seksual juga akan berdampak pada ekonomi perempuan karena masih adanya persepsi masyarakat yang mengaitkan kasus tersebut dengan norma susila. “perempuan korban masih sulit diterima dalam masyarakat, dilabelkan tidak bisa menjaga diri, sehingga membatasi ruang gerak mereka di publik yang juga akan membatasi kegiatan ekonominya,” jelas Eva.  

Begitu pula dengan upaya pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual di masa konflik. Koordinator Kontras Aceh, Hendra mengatakan tentang pentingnya upaya penangaan dan pemulihan secara konfrehensif bagi perempuan korban kekerasan seksual di masa konflik yang hingga kini hak-haknya masih terabaikan.

Untuk itu, Koordinator FATAR, Bayu Satria menekankan pentingnya fungsi keluarga, dan memastikan setiap perempuan tidak mendapatkan tindak kekerasan, “karena bagaimana menghasilkan generasi berkualitas jika peran ibu tidak maksimal karena menjadi sasaran kekerasan.”

Perempuan Aceh juga mengalami persoalan terkait air bersih, terutama perempuan yang tinggal di sekitar perusahaan tambang karena dampak dari proses produksi tambang. Untuk itu, Koordinator Solidaritas Perempuan Aceh, Elvida mengharapkan agar persoalaan yang diakibatkan oleh kehadiran perusahaan tambang perlu menjadi agenda prioritas pemerintah. “Kami menantikan calon pemimpin, dan pemerintah kedepan berani mengevaluasi seluruh izin-izin perusahaan  pertambangan, serta mengambil langkah tegas terhadap persoalan-persoalan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan.

Aksi diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap bersama oleh beberapa tokoh perempuan dan perwakilan lembaga perempuan; Balai Syura Inong Aceh, Flower Aceh, RPUK, Serikat Inong Aceh (SeIA), KPI Aceh, PKBI Aceh, AWPF, Puan Addisa, Natural Aceh, FKPAR Aceh, SP Aceh, dan LBH Apik ACEH.

Pernyataan sikap memuat tuntutan kepada pemerintah dan semua pihak untuk:

  1. Melakukan berbagai upaya untuk mendorong masyarakat agar menggunakan hak suaranya pada pemilu 17 april 2019. Sebab keterlibatan masyarakat dalam menggunakan hak suara mereka akan berkontribusi mendukung perubahan dan pembangunan yang akan berlangsung 5 tahun ke depan
  2. Memastikan penyelenggaraann pemilu bersih, jujur, adil dan aksesible.
  3. Melakukan upaya pemenuhan hak perempuan utk dapat hidup bebas dari ancaman kekerasan dan diskriminasi
  4. Mengambil langkah-langkah progresif sebagai upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual, diantaranya dengan mendukung dan mendesak pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan seksual.
  5. Memastikan keterlibatan semua pihak dalam pembangunan dan perdamaian Aceh yang berlangsung secara adil setara dan inklusi.
  6. Memastikan peningkatan keterwakilan perempuan dan keterlibatan perempuan di bidang politik, karena tidak ada demokrasi tanpa partisipasi perempuan secara setara.

Lebih dari 14 lembaga swadaya masyarakat dan komunitas terlibat dalam penyusunan tuntutan yang disuarakan serta membantu penyelenggaraan Women’s March Aceh (IWD) 2019.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *