Tingginya Angka Kekerasan Seksual,Flower Aceh Mendesak disahkanya RUU-PKS

Kian tingginya angka kekerasan seksual di Aceh – membuat banyak pihak menilai pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual  (PKS) yang merupakan kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak. RUU PKS dinilai bisa mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dan memberikan perlindungan secara komprehensif kepada perempuan dan anak.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh, Amrina Habibi mengatakan kekerasan kepada perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya dan semakin beragam bentuknya, sementara aturan yang ada belum maksmal menjawab persoalan dan pemenuhan hak korban.

Pernyataan tersebut disampaikannya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Flower Aceh-Permampu bersama Forum Pengada Layanan-LBH Apik-RPuK, KPI, PKBI dan PEKKA Aceh tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) sebagai upaya pemenuhan hak perempuan dan anak di Aceh pada 15/08/2019 di Hotel Kyriad, Banda Aceh.

“Kasus kekerasan terhadap perempuan anak mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada 2015 tercatat sebanyak 939 kasus, tahun 2016 ada 1.648 kasus, tahun 2017 meningkat sebanyak 1.791 kasus, dan di tahun 2018 ada 1.376 kasus. Angka tersebut masih belum mengambarkan situasi di lapangan karena masih mengakarnya budaya partriakhi yang membuat korban takut untuk berbicara dan melaporkan. Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya juga belum memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara, menentukan keputusannya sendiri menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya. Kendala lainnya yang dihadapi terkait dengan kebijakan hukum, pembuktian yang sulit, dan mekanisme hukum yang masih tumpang tindih dan belum menjawab kebutuhan korban,”jelasnya.

Amrina menyebutkan adanya peluang perlindungan bagi korban kekerasan seksual melalui RUU-PKS ini.

“RUU PKS bisa mengisi kekosongan hukum terkait dengan isu kekerasan seksual, terutama tentang pembuktian kasus kekerasan seksual yang memudahkan  korban memberikan bukti hanya dengan keterangan korban dan bukti berupa visum, sementara di aturan lainnya pembuktian harus menghadirkan saksi mata sehingga banyak berkas korban dikembalikan karena tidak cukup bukti”, tegasnya.

Hal serupa disampaikan oleh Ketua Pusat Riset Hukum dan Kebijakan Fakultas Hukum Unsyiah, Nursiti, SH. M.Hum.

“RUU-PKS memberikan peluang besar dalam usaha pelindungan perempuan dan anak karena memuat pengaturan terkait dengan perlindungan, pencegahan, mengisi kekosongan hukum, menjawab masalah kesulitan pembuktian pada kasus kekerasan seksual dan sanksi yang lebih menjerat kepada pelaku,” ujarnya.

Lebih lanjut Nursiti menyebutkan dalam aturan yang ada, definisi pemerkosaan masih sangat sempit, aturan dalam RUU-PKS ini lebih konprehensif.

“RUU PKS mengakui bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini tidak terakui oleh hukum berupa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual, serta penegasan terhadap hak-hak korban dan integrasi layanan yang dapat membantu korban megatasi hambatan dalam sistem peradilan pidana, dan memulihkan korban selama proses peradilan pidana berjalan. Disamping itu juga memuat pengaturan tentang pencegahan, perlindungan, dan para pihak yang harus berperan dan bertanggung jawab untuk mengwujukan perlindungan korban,” kata dia.

Menjawab polemik terkait RUU-PKS yang melegalkan hubungan seks bebas karena dikaitkan dengan pasal pengaturan aborsi, Nursiti menjawab RUU-PKS ini tidak melegalkan aborsi, tapi berbicara mengenai pemaksaan aborsi.

“Mengenai aborsi sudah diatur di UU Kesehatan, dan selama ini UU tersebut hanya menjerat perempuan saja, tapi tidak ada jeratan kepada tindakan pemaksaannya,” pungkasnya.

Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Ayu Wilda Nimgsih mengatakan perlu ada penjelasan lebih lanjut terkait dengan pasal yang mengatur aborsi agar pasal tersebut tidak disalahgunakan.

“Pasal tentang aborsi haruslah ada penjelasan lebih lanjutnya yang lebih mendetil, sehingga pasal ini tidak disalahgunakan dan dinilai melegalkan aborsi,” tegasnya.

Mengenai upaya perlindungan korban kekerasan yang inklusif, Direktur Natural Aceh Zainal mengatakan pentingnya RUU-PKS memuat pasal khusus mengenai penanganan pada korban kekerasan seksual disabilitas sampai proses reintegrasi sosial. Selain itu, pedampingan pada korban kekerasan seksual disabilitas harusnya tanpa ada batasan umur.

Muhamad Husen perwakilan MPU Kota Banda Aceh mengatakan perlindungan perempuan dan anak harusnya menjadi prioritas saat ini.

“Penegakan hukum terkait kasus perlindungan perempuan dan anak harus diimplementasikan dengan baik, sehingga bisa mengurangi dan menghapus angka kekerasan seksual di Aceh”, ujarnya.

RUU PKS menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2016, namun proses pengesahan RUU PKS menghadapi hambatan, diantaranya disebabkan oleh bermunculannya beragam pandangan kontroversi melalui media sosial dan aksi penolakan di beberapa wilayah di Indonesia terhadap keberadaanya yang oleh kalangan tertentu  dinilai melegalkan hubungan seks bebas dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

Resistensi terhadap upaya pengesahan RUU PKS juga muncul secara massif dari berbagai kalangan di Aceh yang menilai RUU tersebut sebagai ancaman dalam penerapan Syariat Islam di Aceh karena memuat aturan yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, terutama terkait pelegalan zina, khalwat dan LGBT. Faktanya, berdasarkan kajian yang ada, penilaian tentang RUU PKS tersebut tidak mendasar dan tidak memiliki justifikasi yang kuat.

Nurjanah tokoh perempuan Aceh mengatakan RUU-PKS tidak bertentangan dengan prinsip islam.

“Islam sangat melindungi perempuan dan memberikan keberkahan bukan cuma kepada manusia tapi juga benda,” kata dia.

Terkait dengan pasal mengenai pelarangan kawin paksa, dirinya mengatakan hal tersebut sangat sejalan dengan prinsip Islam karena sebuah pernikahan haruslah mendapatkan keridhaan dari kedua belah pihak. Begitu juga dengan pasal mengenai pemerkosaan dalam rumah tangga, hal tersebut jelas ditolak dalam islam baik diluar pernikahan maupun dalam pernikahan.

Untuk kasus aborsi, Nurjanah mengatakan, hal tersebut memang tidak dibenarkan dalam Islam, namun ada kondisi yang membolehkannya. Sebagai contoh untuk korban pemerkosaan yang tidak berdaya untuk melahirkan anaknya, melakukan aborsi dengan syarat yang sangat ketat, yaitu janin tersebut dibawah 40 hari.

“Penting mendukung pasal-pasal dalam RUU-PKS yang melindungi perempuan dan anak. Jika ada bagian lainnya yang tidak sejalan harusnya kita memberikan masukan untuk menyempurnakannya”, harapnya.

Mewakili penyelenggara kegiatan, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menyebutkan tujuan pelaksanaan diskusi publik untuk menghimpun usulan penting terhadap RUU PKS.

“Diskusi publik yang menghadirkan 55 orang perwakilan dari Instansi pemerintah terkait, perguruan tinggi/akademisi, tokoh perempuan dan tokoh masyarakat strategis di tingkat desa dan LSM ini bertujuan untuk menghimpun masukan dan rekomendasi penting, serta dukungan dari Aceh untuk pengesahan RUU PKS kepada pengambil kebijakan terkait di tingkat nasional. Kegiatan diskusi publik serupa akan dilakukan pula di Kabupaten Aceh Utara dan Pidie, dilanjutkan dengan pelaksanaan expert meeting di tingkat provinsi dalam waktu dekat. Harapannya RUU PKS bisa segera disahkan dan diimplementasikan dengan baik,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *