(SIARAN PERS) Multipihak Refleksikan Partisipasi Politik Perempuan Pada Pileg 2019

Banda Aceh – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh dan Kota Banda Aceh, serta sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerhati pemilu, akademisi, anggota legislatif dan jurnalis perempuan di Aceh merefleksikan partisipasi politik perempuan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) Aceh 2019, Rabu Sore, 10 Juli 2019 di Hotel Kryad Muraya, Banda Aceh.

“Pemilu 2019 sudah selesai, tentunya banyak catatan penting bisa menjadi pembelajaran kedepannya, untuk itu penting merefleksikan pelaksanaan Pileg 2019 di Aceh, menyepakati rencana aksi kolaboratif untuk mendukung keterpilihan perempuan pada Pemilu 2024 mendatang,” jelas direktur Flower Aceh Riswati, dalam pembukaan  acara Refleksi Partisipasi Politik Perempuan Pada Pemilu Legislatif di Aceh Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Flower Aceh bersama Kaukus Perempuan Parlemen Aceh (KPPA), Balai Syura, Kaukus Perempuan Politik (KPPI) Aceh serta Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Aceh.

Nursiti SH, M. Hum, Akademisi Unsyiah dan fasilitator kegiatan menegaskan meskipun perjuangan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan sudah berlangsung dalam beberapa kali pemilu, dan organisasi yang fokus untuk mendorong partisipasi politik perempuan semakin bertambah seperti, KPPA, KPPI, RPPA, Sayap Perempuan Parpol, LSM, serta perundang-undangan yang mendukung partisipasi politik perempuan semakin baik, angka keterpilihan perempuan di Pemilu Legislatif 2019 justru menurun.  

Program Manager International Republican Institute (IRI), Delima Seragih mengatakan trend 2019 partisipasi perempuan pada pemilu legislatif secara nasional terbilang bagus, namun berbeda di Aceh.

“IRI menjalankan program penguatan kapasitas perempuan untuk peningkatan jumlah perempuan parlemen di wilayah Aceh, Jogja, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Di 3 wilayah lainnya, angka caleg perempuan yang terpilih meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun Aceh sebaliknya, dari periode sebelumnya ada 12 caleg perempuan yang terpilih di tingkat DPRA, periode sekarang menjadi 9 orang saja. Padahal jumlah caleg perempuan yang ikut serta dalam pileg meningkat, namun hasilnya tidak” tegasnya.

Delima mengatakan berdasarkan hasil evaluasi caleg perempuan alumni program IRI pada pagi hari ini (10/7), teridentifikasi beberapa kendala yang dihadapi oleh caleg perempuan. Di masa pra-pemilu, caleg perempuan terhambat dengan persoalan internal partai seperti pada penentuan nomor urut, daerah pemilihan, jumlah kontribusi yang disetorkan ke partai, logistik kampanye dan koordinasi antar caleg dalam satu partai. Sementara pada saat pelaksanaan, banyak masalah yang ditemukan terkait kapasitas penyelenggara, praktik politik uang yang banyak terjadi, namun tidak bisa dibuktikan karena orang tidak mau menjadi saksi dan membawa barang bukti, serta kurangnya edukasi pemilih, apalagi pada pemilu 2019 dilakukan secara serentak dengan surat suara tanpa foto caleg yang membuat bingung pemilih”, jelasnya.

Seperti yang diutarakan oleh Nurjani Abdullah caleg dari partai Nasdem yang menilai masih ada masalah pada pihak penyelenggara pemilu 2019 terutama di tingkat PPS.

“Saya menemukan PPS kurang kapasitasnya baik karena kurang pelatihan dan juga  pengalamannya. Di lapangan saya menemukan KPPS yang tidak tahu tugasnya, kurang mengerti cara menghitungnya. Pekerjaan yang bertumpu kepada KPPS saja karena dia yang mengerti karena sudah mendapatkan pelatihan, namun tidak meneruskan ilmunya ke-6 teman lainnya. Sehingga kerja penghitungan tidak efisien dan banyak waktu terbuang,” jelas Nurjani yang sebelumnya sempat menjabat sebagai anggota KIP di kabupaten dan KIP Provinsi Aceh.

Koordinator Divisi Pemberdayaan Masyarakat (PEMAS) Flower Aceh, Ernawati menilai masih minimnya sosialisasi pemilu 2019 yang menyasar perempuan.

“Sosialisasi pemilu lebih menyasar laki-laki dan kurang menjangkau perempuan. Laki-laki lebih terpapar karena lebih sering di ruang publik, misalnya mereka membaca di koran-koran di kedai kopi, sementara perempuan tidak bisa karena lebih sering menghabiskan waktu di ranah domestik.”

Siti Maisarah dari organisasi Puan Anisa menyoroti tentang stigma perempuan tidak boleh memimpin masih melekat kuat sebagai hambatan bagi caleg perempuam.

“Ada banyak isu beredar kalau perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dan tidak ada yang mencounternya. Saya ada banyak menemukan di hari H pemilu perempuan yang bertanya apakah masih boleh memilih perempuan sebagai caleg atau pemimpin,” jelas Maisarah. Dia mengatakan seharusnya ada penegasan setidaknya dari pihak penyelenggara bahwa perempuan secara aturan berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu dan berhak dipilih. Selain itu dia berharap pihak penyelenggara juga memberikan counter argument terhadap isu tersebut dengan memberikan pernyataan dari tokoh adat dan tokoh agama.

Sepakat dengan persoalan yang menghalangi keterpilihan perempuan juga karena faktor minimnya dukungan dari partai pengusung, Riswati, direktur Flower Aceh mengatakan parpol punya andil besar dalam kerterpilihan caleg perempuan.

“Selama ini komitmen parpol untuk kaderisasi, dan memberikan ruang bagi perempuan untuk mengisi posisi strategis di partai belum maksimal. Padahal, posisi strategis di partai sangat menentukan proses selanjutnya, seperti penetapan nomor urut dan daerah pemilihan, akses logistik dan pengawalan suara, dukungan mesin politik dan pemenangan parpol, dan lainnya. Ke depan, penting memaksimalkan fungsi dan tanggung jawab strategis partai untuk proses kaderisasi, peningkatan kapasitas, serta memberikan ruang adil untuk perempuan agar dapat berkiprah dengan nyaman. Pada saat bersamaan, memperkuat dukungan dan kerja kolaboratif semua pihak untuk peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh melalui berbagai strategi menjadi keharusan,” tutup Riswati.

Menambahkan pentingnya kolaborasi multipihak, Presidium Balai Syura Aceh, Norma Manalu mengakui elemen masyarakat masih bekerja secara parsial dan tidak terukur dalam isu perempuan dan parlemen ini.

“Harus kita akui persiapan kita kurang matang untuk mendorong kawan-kawan  yang sudah menyatakan diri untuk maju. Dan kerja-kerja kita masih parsial jadi ini tidak jadi agenda yang utuh dan terukur di gerakan perempuan,” kata Norma. Lebih lanjut menanggapi isu perempuan tidak boleh menjadi pemimpin yang selalu beredar ketika masa pemilu, Norma mengatakan harus ada program yang terarah dari pemerintah untuk mengcounter isu tersebut yang sangat merugikan caleg perempuan, terutama di daerah pelosok di mana isu tersebut masih sangat melekat di masyarakat”, tegasnya.

Pada akhir kegiatan, anggota Kaukus Perempuan Parlemen Aceh (KPPA), Syarifah Munirah yang juga anggota DPRK Banda Aceh mengingatkan akan pentingnya membangun hubungan dan komunikasi intensif dengan konstituen, baik bagi caleg terpilih ataupun tidak. Penting pula menginformasikan kerja-kerja yang sedang diperjuangkan oleh anggota legislatif agar diketahui, sehingga lebih dekat dengan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *