Melawan Lupa dari Mei Yang Penuh Duka, “Apa Kabar Negara”?

Sejarah Aceh adalah sejarah tragedi kemanusiaan, tragedi yang terus menerus terjadi tanpa henti sepanjang kurun 1976-2005. Berbagai tragedi kemanusiaan ini, tidak hanya merenggut korban dari para pihak, tetapi sebagian besar justru dari kalangan warga sipil.1 Dan diantara semua korban sipil, perempuan adalah korban warga sipil yang paling merasakan dampak berlapis dari konflik di Aceh, terkadang tidak hanya sebagai korban, perempuan harus menjadi tulang punggung keluarga, karena suaminya meninggal akibat konflik, atau hilang tak tahu kemana. Untuk mengetahui segala narasi tentang bagaimana kondisi perempuan korban konflik, maka buku yang diterbitkan flower Aceh yang merekam secara mendalam segala keseharian perempuan konflik cukup menggambarkan bagaimana duka, trauma dan segala beban ganda perempuan korban konflik Aceh.2

Dalam sejarah tragedi kemanusiaan tersebut, maka bulan Mei adalah bulan bersejarah bagi Aceh. Ketika Aceh diumumkan sebagai daerah berstatus darurat militer, pada 19 Mei 2003, maka itu adalah puncak dari berbagai tragedi kemanusiaan Aceh. Sebagai Aceh dan sebagai siapapun yang atas nama kemanusiaan mencintai Aceh dan berjuang menjaga martabat manusia, maka mustahil melupakan “Mei”. Ingatan Mei adalah ingatan akan duka dan mengingatnya dalam ingatan dan pengetahuan kita adalah penting untuk melawan lupa. Dalam sekian gerak waktu yang terus berjalan, kita harus terus mengingat apa pun duka Aceh, karena ini adalah bentuk tanggung jawab kemanusiaan kita, sebuah tugas mulia agar segala duka ini tidak berulang dimana pun dan kapan pun. Kini, di saat damai Aceh hadir, maka damai sejati bagi korban adalah ketika Negara, dengan segala kekuasaannya memenuhi hak-hak korban secara bermartabat.

Ketika kita terus bergerak ke masa depan, maka memutar mesin waktu ke masa lalu, masa ketika pelanggaran HAM pernah tidak memanusiakan manusia di Aceh adalah penting sebagai ikhtiar kita untuk terus menjaga martabat korban dan keluarga korban. Bulan Mei adalah ingatan lorong waktu, ketika duka hadir dan sejarah meninggalkan beban kepada kita semua untuk menyembuhkan luka tersebut.

Luka Simpang KKA
Peristiwa simpang KKA terjadi pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Bagi sebagian orang, 3 Mei adalah tanggal biasa saja, tetapi tidak bagi warga Kabupaten Aceh Utara, tanggal itu adalah tanggal duka dan airmata. Peristiwa penembakan pada pagi hari itu berlansung sekitar 20-30 menit secara acak, baik dari atas truk maupun di jalan. Jarak antara tentara yang menembak dengan masyarakat hanya sekitar 5-6 Meter.

TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga jadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana. Banyak penduduk yang sudah tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang .

Fauziah, adalah seorang perempuan korban yang menanggung segala kesedihan, karena kehilangan anaknya dalam peristiwa tersebut. Fauziah kehilangan buah hatinya yaitu Saddam Husein, bocah berusia 7 tahun yang saat peristiwa itu duduk di kelas satu SD Impres Krueng Geukuh.3

Saya dan anak saya tidak terlibat dalam unjuk rasa itu, saya hanya berjualan pisang goreng di Simpang Empat Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara, anak saya tertembak di kepala. Hati saya sangat sakit karena tentara menuduh anak saya pemberontak dan berumur 17 tahun, anak saya masih kelas 1 SD dan umurnya masih tujuh tahun” ujar Fauziah, ibunda Saddam Husein. Fauziah mengaku, hingga saat ini, masih menuntut keadilan terhadap pelaku penembakan anaknya. Bahkan, dia juga sangat kecewa ketika TNI menyebutkan bahwa anaknya berumur 17 tahun dan merupakan seorang anggota pemberontak atau anggota GAM.

Setelah peristiwa itu, jangankan penegakan hukum yang adil, bantuan konseling dan ekonomi pun tak pernah kami terima. Setiap tahun peristiwa itu diperingati, yang peduli hanya kawan-kawan NGO,” ujar Murthala.4 Rukayah, seorang perempuan, keluarga korban tragedi Simpang KKA, mengatakan, semangat korban dan keluarga korban untuk terus memperjuangkan pemenuhan hak keadilan mereka masih terus menyala. Sampai kapan pun, katanya, korban akan terus menggugat kepada pemerin tah akan pengadilan yang adil atas kejadian itu.”Walau nanti akhirnya hanya anak cucu kami yang merasakan keadilan itu, kami tak akan menyerah untuk memperjuangkan ini,”.

Rabu, 3 Mei 2017 lalu, keluarga korban kembali melakukan ziarah ke tempat pemakaman orang yang mereka cintai. Setelah itu, mereka melakukan demonstrasi diam untuk mengungkapkan kekecewaan bahwa kasus tersebut tetap tidak terselesaikan.5 Belum ada penyembuh dari luka yang terus menganga ini. Usia luka Simpang KKA telah berusia 18 tahun, sudah berkali-kali ganti Presiden, ganti Menteri, ganti Gubernur, Bupati, Walikota, lantas apa yang sudah berganti dari korban dan keluarga korban?.

Duka Jambo Keupok
Pagi itu, 14 tahun lalu, sebuah kebrutalan datang dan merubah semua ketenangan menjadi jerit dan tangis manusia yang dibantai tanpa belas kasihan. Itulah tragedi Jambo Keupok, sebuah Gampong di Kabupaten Aceh Selatan. Tragedi yang terjadi pada 17 Mei 2003 ini, (tepat dua hari sebelum pemberlakukan Darurat Militer diumumkan) dikenang sebagai duka mendalam bagi Aceh.

Tentara memasuki setiap rumah, memeriksa seluruh tempat dan memaksa para penghuni rumah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak untuk keluar dari rumah dan dikumpulkan di depan rumah warga. 12 orang laki-laki yang berada di depan rumah warga diperintahkan mengangkat tangan dan ±15 orang tentara menembak secara acak ke arah para korban yang berbaris ini dan kemudian di bakar. Warga tidak ada yang berani mendekat. Setelah tentara meninggalkan desa, warga Desa Jambo Keupok baru berani mendatangi rumah warga yang sudah habis terbakar dan menemukan mayat-mayat yang terbakar. Warga mengidentifikasi mayat hanya berdasarkan sisa kain yang tidak ikut terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003 di Jambo Keupok menyebakan6 :

  1. 16 orang laki-laki meninggal (12 dibakar hidup-hidup dan 4 orang mati ditembak).
  2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian mati (ditendang, dipukul dengan popor senjata).
  3. 1 orang korban perempuan dipukul dan ditembak hingga pingsan.
  4. 1 orang korban perempuan dipukul di bagian belakang kepala dengan popor senjata sampai tidak mampu menelan makanan selama 3 hari.
  5. 3 korban perempuan lain yang dipukul.
  6. 4 unit rumah dibakar beserta isinya.

Trauma mendalam dan kepiluan kehilangan orang-orang tercintanya karena peristiwa ini di alami oleh banyak para perempuan. Ny SZ, (saat ini berumur 33 tahun), adalah salah satu perempuan keluarga korban dan saksi mata dalam peristiwa tersesbut. Selain mengalami secara langsung kekejaman peristiwa tersebut, SZ juga harus kehilangan ayahnya yang tewas ditembak. Ibunya mengalami cacat seumur hidup setelah ditembak pada bagian paha kakinya. Serta 1 unit rumahnya hangus terbakar. Ibunya ditembak oleh tentara ketika memegang dan berusaha melepaskan ayahnya yang diseret oleh tentara.

Demikian hal dengan Nur, (saat ini Umur 34 tahun), adalah seorang perempuan yang mengalami secara langsung kekejaman peristiwa tersebut dan harus kehilangan suaminya yang juga tewas ditembak. Saat ini Nur menjadi tulang pungung keluarganya. adalah Tentunya ada banyak perempuan lainnya di Jambo Keupok yang merupakan kelurga korban dari peristiwa ini. Yang mau di katakan adalah bahwa semua korban ini sampai hari ini masih ada dan akan terus mewariskan kepiluan secara berlipat ganda ketika pemerintah belum memenuhi hak mereka secara adil dan bermartabat.

Darurat Militer, Duka Perlakuan “Berbeda” Negara
Gagalnya perundingan dalam Tokyo Meeting yang digelar pada 17-18 Mei 2003 telah membuat pemerintah mengambil langkah penerapan darurat militer Aceh. Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer di Aceh dengan status Darurat militer. Pengumuman ini diumukan pada tanggal 19 Mei 2003, jam 00:00 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopolhukam saat itu) melalui Konsekuensi dari pemberlakuan status Darurat Militer, Presiden Megawati Sukarnoputri mengizinkan pengiriman 30.000 pasukan TNI dan 12.000 personel polisi ke Aceh. Pengiriman pasukan ini merupakan pengerahan pasukan dan armada perang terbesar Indonesia sejak pengerahan militer di Timor Timur pada 1976.

Kemudian, segera dapat dipastikan bahwa masyarakat sipil lah yang paling merasakan dampak dari penerapan status Aceh dalam arena perang ini. Selalu hidup dalam kecemasan dan ketakutan, setiap hari mendengar suara tembakan, melihat mayat yang dibuang begitu saja dan berbagai kejahatan lainnya. Kondisi ini sebenarnya adalah kondisi yang sudah dialami oleh masyarakata Aceh terutama di daerah basis-basis perlawanan GAM, namu kondisi ketakutan ini memuncak pada masa darurat militer, pengerahan TNI dan Polri besar-besaran, peningkatan jumlah pos dan jumlah operasi tantara, pembatasan media dan sektor publik lainnya. Dalam konflik Aceh, para perempuan sangat rentan sebagai korban, baik pelecehan, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. Perempuan juga sering dijadikan sandera dalam konflik Aceh, apalagi ketika darurat militer, mereka dijadikan tawanan untuk di tukar dengan suami mereka yang terindikasi sebagai GAM.

Banyak sekali dampak yang dirasakan masyarakat sipil akibat pemberlakuan darurat militer ini, diantaranya pengungsian besar-besaran. Akibat penerapana darurat militer ini banyak masyarakat yang eksodus dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang dijaga oleh tentara. Banyak lelaki Aceh memilih keluar dari Aceh untuk menyelamatkan diri, ketika mereka adalah suami, kepala rumah tangga, maka segala beban rumah tangga terpaksa diambil alih oleh para perempuan. para perempuan harus bekerja untuk menghidupi keluarga yang terpaksa di tinggalkan suaminya. Beban ganda sebagai kepala kelaurga, ibu rumah tangga dan pekerja harus dilakoni oleh para perempuan-perempuan Aceh selama penerapan darurat militer ini.

Damai dan Hak Korban; Apa Kabar Negara?
Kalimat apalagi, narasi bagaimana lagi yang harus terus kita tulis untuk menggambarkan segala duka pembantaian Simpang KKA. Akal dan nurani manusia mana yang tidak akan sedih mengingat 12 orang dibakar hidup-hidup dan apakah mungkin kita melupakan pemberlakuan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh?. setelah itu semua, Damaipun tidak menjadi matahari bagi korban. Kehidupan korban dan terkhusus para perempuan korban konflik terus gelap di tengah terangnya trilyunan cahaya APBA.

Setelah puluhan tahun segala duka akibat pelanggaran HAM yang dilakukan negara tersebut, kita layak bertanya, apa kabar Negara? Adakah negara melihat bagaimana kondisi korban?, adakah damai menjadi milik perempuan korban konflik ?. Juntaian euphoria damai yang telah berusia 12 tahun, belum menjadi penyembuh bagi para korban. Sudah 12 tahun damai Aceh kondisi korban cukup memprihatinkan, sebagaimana gambaran diatas.

Damai Aceh yang telah berusia 12 tahun, belum bisa memberikan apa-apa bagi para korban. Damai yang juga lahir dari rahim penderitaan korban tidak menjadi milik korban konflik, apalagi para perempuan korban konflik, tetapi hanya menjadi milik negara dengan ritual tahunannya. Damai sejati Aceh adalah damai yang memenuhi semua hak korban, karena disitulah letak keabadian damai Aceh. Ketika negara memenuhi segala hak korban konflik, maka negara telah menjaga keberlanjutan dan keabadian damai Aceh karena korban konflik adalah fondasi damai Aceh. Ketika negara abai, maka ketidak adilan dalam nikmat damai bagi korban adalah lecutan api baru dalam perjalanan peradaban Aceh. Apa kabar negara ?.

Ketika kita mengingat segala duka Aceh sebagai pengetahun konflik. Maka pengetahuan ini adalah pengetahuan yang lahir dari duka dan luka para korban. Ingatan konflik bagi orang Aceh harus menjadi kesadaran, bukan memorial, kesadaran bahwa konflik Aceh adalah pusat sejarah Aceh, bukan penggalan dan pinggiran sejarah, yang kemudian tidak lagi menjadi rujukan. Konflik Aceh adalah keutuhan Aceh. Berkaca dari narasi ini, maka semestinya, segala kebijakan, segala gerak pembangunan, segala pelayanan public dalam damai Aceh senantiasa haurs selalu merujuk, melihat dan menempatkan secara terhormat dan bermartabat para korban konflik dalam segala hal itu. Inilah makna damai yang abadi bagi para korban dan para perempuan korban konflik.

KKR Aceh dan Tantangan Menemani Korban
KKR Aceh adalah amanat penting yang tertuang dalam perjanjian Helsinki untuk perdamaian Aceh. KKR Aceh bertujuan untuk mengungkap kebenaran terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama masa konflik. Bagi korban konflik, KKR Aceh sangat penting, karena sebagai alat bagi para korban mendapatkan hak-hak mereka.

Kehadiran KKR Aceh adalah penyemangat dan teman setia bagi korban. Perjuangan KKR yang dilakukan korban bersama organisasi masyarakat sipil Aceh telah melahirkan qanun dan telah memilih para komisionernya. Namun, ini bukanlah sebuah hal mudah, Karena kerja pengungkapan kebenaran punya tantangan serius, karena kerja berhadapan dengan negara yang tentu punya kekuasaan yang besar. Keberadaan lembaga KKR Aceh harus terus di jaga dan di perkuat bersama-sama karena lembaga ini merupakan tumpuan korban dalam merengkuh segala keadilan dari ketidakadilan yang diperlakukan terhadap mereka.

Tidak ada damai tanpa keadilan bagi korban”, adalah kalimat final bagi korban. Keadilan bagi para korban ada pada Empat hal penting yang dapat menjaga harkat dan martabat korban, yaitu :

  1. Pengungkapan fakta/kebenaran.
  2. Pengakuan Pertanggungjawaban Negara/Pelaku.
  3. Rehabilitasi dan kompensasi
  4. Pemulihan sosial.

Pada empat narasi inilah keberadaan KKR Aceh sangat penting bagi korban. Sebagai sebuah lembaga resmi yang memang lahir untuk didedikasikan untuk kebenaran dan rekonsiliasi setelah korban mendapat hak-haknya secara bermartabat, maka keberadaannya penting sekali untuk terus di kawal bersama-sama, karena korban harus terus kita temani sampai kapan pun dalam berjuang mendapatkan haknya.

Ketika KKR Aceh mendapatkan sandungan ketidakseriusan pemerintah Aceh baik dalam hal penganggaran maupun operasional lainnya, karena KKR Aceh dianggap tidak menjadi prioritas dan kalah seksi dengan isu-isu politik lain maka organisasi sipil harus terus memberikan ruang bagi lembaga KKR Aceh untuk terus dekat dengan korban, tidak sebagai bentuk interfensi tetapi untuk terus menjaga eksistensi KKR Aceh. Para komisioner KKR Aceh melakukan kerja-kerja yang sangat berat dan tidak mudah kedepannya, kerja-kerja penyadaran pentingnya keberadaan KKR Aceh dan rasa kepemilikan terhadap KKR Aceh harus terus dilakukan, Karena ini adalah bagian perjuangan “melawan lupa”.

Terkhusus bagi perempuan, maka tugas berat KKR Aceh tugas berat KKR Aceh dari perspektif perempuan adalah memastikan korban kekerasan seksual mendapat hak-hak mereka. Ini terjadi karena pengaturan soal korban kekerasan seksual tidak diatur dalam Qanun tentang KKR Aceh. “Korban kekerasan seksual harus dipastikan bisa mengakses KKR Aceh.

Terkait keberadaan KKR Aceh, saat ini telah ada upaya-upaya pelemahan terhadap keberadaan lembaga KKR Aceh, karena itu segala upaya pelemahan keberadaan lembaga KKR Aceh harus dilawan dengan terus menggalang solidaritas Masyarakat Sipil Aceh dan memperbesar kampanye tentang pentingnya keberadaan lembaga KKR bagi Aceh dan bagi perdamaian Aceh. Secara khusus, ketidak jelasan dukungan operasional terhadap KKR, maka tidak boleh melemahkan keberadaan lembaga ini, dan justru bisa terus diperkuat dengan pelibatan KKR Aceh dalam setiap agenda-agenda OMS yang fokus pada isu HAM, dengan selalu melibatkan KKR Aceh dalam setiap kegiatannya.

Menghadapi segala tantangan dalam menemani korban, maka kedepan ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius Negara dan menjadi agenda khusus bagi pemerintahan baru Aceh, diantaranya :

  1. Eksistensi korban konflik harus menjadi persfektif bagi Pemerintah Aceh yang Baru (2017-2022). Bahwa damai Aceh hadir karena adanya korban konflik, karena itu setiap kebijakan, gerak pembangunan dan segala terobosan yang ingin dilakukan pemerintah Aceh, harus menjadikan keberadaan korban sebagai rujukannya dan segala manfaatnya harus dapat dirasakan korban konflik.
  2. Bagi pemerintah Aceh yang baru, harus memperkuat KKR Aceh dan menjadikan KKR Aceh sebagai prioritas penting dengan cara menyatukan semua kekuatan pemerintahan sehingga KKR bisa bekerja maksimal menuntaskan segala hak korban, pengungkapan kebenaran, pengakuan negara demi kelanggengan damai Aceh.
  3. Korban, organisasi masyarakat sipil, dan kelembagaaan KKR Aceh harus melakukan sinkronisasi dan Singergisasi dalam gerak dan kerja-kerja kedepan secara bersama. Melakukan pembagian peran kerja yang rasional, terukur dan mudah di evaluasi.

Akhirnya, tulisan sederhana ini bukan untuk membangkitkan dendam, tapi mengubah dendam menjadi energi yang membebaskan korban dan keluarga korban dari segala penantian yang tidak pernah kunjung usai. Tulisan ini adalah untuk pengetahuan kita, untuk memiliki duka Aceh secara bersama dan mengobatinya dengan selalu meminta pertanggungjawaban Negara sebagai organisasi yang paling bertanggungjawab dalam segala pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang telah terjadi. Pengakuan Negara adalah martabat bagi korban, pengungkapan segala kebenaran adalah keadilan bagi korban, kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan sosial adalah tanggung jawab abadi negara bagi para korban. Dan tidak ada keadilan, tanpa keadilan bagi perempuan korban konflik. Apa kabar Negara ?.

Penulis: Teuku Muhammad Jafar

_________________________________________________

1.Ringkasan eksekutif, hasil tim pemantauan dan penyelidikan pelanggaran HAM pada masa daerah operasi militer di Provinsi Aceh, Jakarta, Juli, 2013, h.1
2.Lihat buku Erni…(et al); “Nyala Panyoet Tak Terpadamkan” , Penerbit : Flower Aceh, 1999, Cet. I.
3.http://www.sinarharapan.co/news/read/140506063/Mengenang-Kegilaan-di-Simpang-KKA
4.http://regional.kompas.com/read/2011/12/11/18433617/Korban.Tragedi.Simpang.KKA.Kembali.Menggugat.
5.http://www.thejakartapost.com/news/2017/05/03/activists-cry-foul-as-simpang-kka-atrocity- remains-unresolved-after-18-years.html
6.Ringkasan eksekutif, hasil tim pemantauan dan penyelidikan pelanggaran HAM pada masa daerah operasi militer di Provinsi Aceh, Jakarta, Juli, 2013, h. 12

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *