Kisah Perubahan Fauziah “Tidak ada Kata Terlambat dalam Menuntut Ilmu”

Namanya adalah Fauziah M. Nur, saat ini berusia 58 tahun dengan berprofesi sebagai petani perempuan di Desa. Fauziah merupakan salah satu peserta dampingan Flower Aceh di Desa Lampisang Sibreh, Aceh Besar setelah tsunami dia mengikuti kegiatan dengan flower aceh baik dalam diskusi rutin maupun kegiatan lainnya, Awalnya dia datang sendiri ke Desa Lampisang yang bukan desa tempat dia berdomisili, namun karena keinginannya untuk mendapatkan pendidikan dan informasi terkait isu2 tentang keterlibatan perempuan yg mendukung hak2 perempuan dalam pengambilan keputusan. Yang kemudian ia ikut forum belajar pada Sekolah Perempuan diselenggarakan oleh Flower Aceh selama empat bulan.

Kelas ini diisi oleh Fauziah bersama 12 peserta yang semuanya adalah perempuan berasal dari akar rumput. Namun diantara semua peserta Fauziah adalah peserta yang berumur paling lanjut. Tidak hanya itu, ia juga merupakan peserta yang jarak tempuh paling jauh menuju ke Sekolah Flower Aceh. Fauziah Bertempat Tinggal di Desa Luthue Dayah Krueng, Aceh besar. kira-kira perjalanan yang ditempuh hampir satu jam dengan menggunakan sepeda motor Honda Astrea keluaran tahun 90-an. Sebenarnya didalam perjalanan, motor tua yang selalu dikendarai itu sering kali terjadi kerusakan. Ia Memaklumi saja, karena merupakan sepeda motor yang saat ini semua orang hampir tidak pakai lagi. Namun ia merasa, karena niat tulus menuntut ilmu, didalam kesulitan itu ada saja pertolongan yang tidak disangka menghampiri. Tapi Fauziah tidak patah semangat untuk setiap hari rabu dan sabtu mengikuti pendidikan di Flower Aceh dengan tepat waktu. Baginya belajar disini seperti mewujudkan mimpi untuk menempuh pendidikan lebih lanjut lagi.

Fauziah menceritakan kesulitannya selama belajar, dikarenakan pada tahun 2000 pernah terjangkit penyakit malaria di Pulau Aceh yang berdampak pada daya penyerapan pembelajaran. Fauziah mengatakan bahwa ia kesulitan mengingat dan fokus pada pembelajaran yang diberikan. Tapi Ia tak kehabisan akal untuk terus menyeimbangkan diri dengan peserta lainnya yang berusia lebih muda. Ada yang ingin buktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar. Belajar bagaikan lingkaran tidak ada ujungnya ia terus menerus berputar. Kalau Kata Pepatah menuntut ilmu dari lahir hingga keliang kubur, itu sedang ia praktikkan pada saat ini.

Selama belajar disekolah HAM perempuan Flower Aceh, banyak sekali perubahan yang dirasakannya. Ia jadi mengetahui bagaimana persamaan hak antara laki-aki dan perempuan, juga baru mengetahui ternyata pembagian peran dapat dilakukan didalam rumah. Dulunya ia sempat berpikir bahwa hal itu hanya tugas perempuan saja, itu kata orang tuanya terdahulu. Fauziah baru tau ternyata perempuan bisa terlibat di pembangunan gampong, yang selama ini sering kali perempuan dilewatkan begitu saja,  tidak dilibatkan mulai dari perencanaan sampai pada menikmati akses terhadap hasil pembangunan tersebut. Perempuan hanya tau pengadaan kuali, panci dan sebagainya sudah dianggap berbasis gender. Padahal yang dibutuhkan perempuan tidak hanya semata-mata itu saja.

Dulunya ia merasa tidak paham apa itu hak dan juga mempertahankan hak. Kalau dirumah tangga seolah-olah perempuan yang harus mengurus pekerjaan rumah tangga, jika tidak berarti bukan termasuk kedalam golongan istri yang baik. itu adalah hal keliru yang selama ini dipahaminya sehingga hal tersebut menjadi budaya pada setiap pemikiran orang.  Karena mengikuti pendidikan ini Fauzia telah mampu memberi penjelasan kepada suami mengenai kesetaraan gender hingga suaminya mau memahami hal tersebut. Ia diberikan  keleluasaan untuk mengambil waktu belajar ke Banda Aceh setiap dua hari dalam seminggu. Baginya untuk membuat perubahan ditingkat yang lebih besar maka perubahan tersebut harus dimulai dari rumah terlebih dahulu yaitu keluarga sendiri. Itu adalah awal mula terjadinya perubahan didalam masyarakat.

Fauziah juga sempat melakukan lobi pihak pemerintah gampong agar melibatkan petani perempuan pada pelatihan menambah kapasitas untuk meningkatkan produktivitas pertanian masyarakat yang ada didesanya. Karena sebelumnya para petani-petani tua ini sering kali dianggap tidak penting untuk dilibatkan. Sekarang Keucik (kepala desa) telah melakukan perjanjian pada mereka untuk membuka akses terhadap penambahan kapasitas.

Menurut Fauziah jarang sekali ada kesempatan untuk  perempuan akar rumput belajar dan berjejaring dengan teman-teman perempuan lainnya, maka wadah belajar yang disediakan oleh Flower Aceh ini sangat luar biasa hingga berdampak pada kehidupan. Karena kurangnya kesempatan bagi perempuan-perempuan akar rumput ini, fauziah berharap sekali semua ibu-ibu kusunya ibu rumah tangga  mendapatkan kesempatan yang sama sepertinya. Mengakses pendidikan dan menambah kualitas diri yang selama ini tenggelam dalam kesibukan rumah tangga selama bertahun-tahun.

By : Dara Hilda Maisyita, Kepala Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *