Intelektual Indonesia dan 70 Tahun Kemerdekaan

Seorang pakar sejarah kawakan, Arnold Toynbee, pernah menulis bahwa terpaan krisis adalah takdir sebuah bangsa. Ketika krisis melanda suatu negeri, ‘sejarah’ menanti respon dari penduduk negeri itu. Jika mereka berhasil menjawab tantangan krisis, bangsa itu akan semakin tangguh. Namun jika gagal, bangsa itu akan jatuh. Menariknya, setelah mempelajari peradaban bangsa-bangsa dunia, Toynbee menemukan sebuah pola yang selalu terulang sepanjang sejarah. Tantangan zaman bagi suatu bangsa selalu berhasil dijawab jika bangsa itu memiliki kaum minoritas kreatif yang disebut dengan kelompok intelektual – tercerahkan.

Hukum sejarah diatas juga berlaku di Indonesia. Negeri ini tidak akan merdeka jika tidak memiliki kaum intelektual-tercerahkan. Soetomo (pendiri Budi Utomo) adalah seorang dokter, Soekarno seorang insinyur, HOS Tjokroaminoto lulusan sekolah pamong praja, dan Hatta adalah seorang sarjana Ekonomi dari negeri Belanda. Intelektual muda Indonesialah yang mengubah strategi perang melawan Belanda dari perang otot menjadi perang otak. Hasilnya, krisis penjajahan berhasil dibalik menjadi sebuah kemerdekaan.

Indonesia adalah negara terbesar kelima di dunia. Memiliki ribuan pulau dan dua pertiga wilayahnya merupakan lautan. Tidak mudah mempersatukan sebuah negeri yang memiliki beragam suku, bahasa berbeda, dan agama yang bhineka ini. Namun lihatlah bagaimana minoritas kreatif Indonesia merespon tantangan zaman ini: seluruh perbedaan itu disatukan oleh sebuah ide yang kita sebut dengan Sumpah Pemuda. Untuk menemukan sebuah ideologi bersama, Soekarno menggagas Pancasila yang sampai saat ini kita peringati hari kelahirannya.

Begitulah, perubahan sosial selalu dimulai dari sebuah gagasan yang mencoba menjawab tantangan zaman. Gagasan yang matang muncul dari para pemikir. Namun ide atau gagasan saja tak mampu melakukan perubahan. Diperlukan juga aksi atau tindakan. Karena itu, selain sebagai pemikir, para pendiri bangsa kita juga seorang aktivis. Mereka tidak hanya menjadi pemikir, mereka adalah ‘pemikir yang tercerahkan’. Seandainya hanya menjadi intelektual, bisa saja Soekarno dan Hatta memilih bekerja untuk Pemerintah Belanda. Mereka bisa saja memilih hidup nyaman ketimbang bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Potret Buram Intelektual

Saat ini, Indonesia memiliki banyak sekali kaum terdidik. Negeri ini memiliki banyak pakar di segala bidang. Namun kita juga menyaksikan betapa banyak anak bangsa bergelar profesor dan doktor yang masuk penjara karena korupsi. Mereka cerdas, tapi cahaya hatinya redup.

Demikian juga dengan para politisi, setelah mendapatkan kekuasaan, banyak dari mereka yang sibuk memperkaya diri sendiri. Bandingkan dengan Haji Agus Salim, pemimpin Syarikat Islam, yang tidur hanya beralaskan sebuah tikar di rumah kontrakan. Meskipun setelah kemerdekaan ia menjabat sebagai menteri, hidupnya sama sekali tidak berlebihan. Atau lihatlah Muhammad Natsir, walaupun menjabat sebagai Perdana Menteri, baju jasnya masih ditisik. Mendapat jabatan politik tidak harus berarti memiliki rumah mewah dan mobil baru.

Sisi gelap lainnya adalah intelektual dan politisi kita banyak yang tidak siap dengan perbedaan. Mereka tidak memiliki sikap gentlemen dalam menghadapi lawan pemikiran dan politiknya. Lihat saja apa yang terjadi jika ada pemilu, pilkada, atau debat pemikiran. Sering kali yang terjadi bukan adu argumentasi, melainkan demonisasi atau pembusukan karakter lawan. Sifat ini menunjukkan mental yang kerdil.

Sejarawan yang juga pengajar di Lemhanas, Anhar Gonggong, pernah bercerita bahwa IJ Kasimo (tokoh Partai Katolik) berkawan dekat dengan Natsir (tokoh Masyumi). Bahkan, DN Aidit (tokoh Partai Komunis Indonesia) dan Natsir yang antikomunis bisa “berkelahi” di rapat parlemen saat menyusun Undang-Undang. Tetapi setelah rapat selesai, Aidit datang mengambil kopi dan memberikannya kepada Natsir. Hikmah cerita, pemimpin dimasa kemerdekaan dulu memiliki karakter perkawanan dan kebesaran jiwa. Berbeda pendapat adalah wajar, yang tak wajar jika harus bermusuhan karena berbeda.

Tugas Intelektual Masa Kini

Setiap zaman memiliki masalahnya sendiri, dan setiap permasalahan memiliki tokohnya sendiri. Dimasa pra-kemerdekaan, yang diperlukan adalah orang-orang yang mampu mewujudkan sebuah negara-bangsa, dengan konsep dan perangkatnya. Saat itu yang dibutuhkan adalah Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar, dan sebuah Proklamasi Kemerdekaan. Anak-anak Indonesia yang melahirkan produk-produk pemikiran diataslah yang saat ini kita kenang sebagai tokoh pendiri bangsa (founding fathers).

Sekarang, setelah 70 tahun merdeka, yang dibutuhkan adalah mengisi kemerdekaan, bukan mengotak-atik kembali apa yang sudah dibangun para pendiri. Karena itu, usaha (sebagian kalangan) untuk mengubah haluan dan bentuk negara merupakan usaha yang kadaluarsa. Selain hanya menghabiskan energi, gerakan untuk mengubah Indonesia menjadi negara selain-Pancasila merupakan gerakan mundur ke masa silam, bukan berjalan maju ke masa depan.

Menurut pengamat politik Fachri Ali, dalam konteks saat ini, proyeksi kegelisahan dan kreatifitas seorang intelektual haruslah tertuju sepenuhnya pada penanggulanan masalah bangsa. Dan permasalahan bangsa Indonesia saat ini begitu kompleks. Krisis ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya sedang menunggu para intelektual-tercerahkan Indonesia untuk menyelesaikannya.

Alasan Untuk Optimis

Intelektual muncul dari pendidikan. Salah satu kebijakan pemerintah yang patut diacungi jempol adalah memberikan beasiswa kepada generasi muda untuk melanjutkan pendidikan tinggi, baik ke luar maupun ke dalam negeri. Di skala nasional, melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Pemerintah Indonesia memberikan ribuan beasiswa kepada pemuda Indonesia untuk kuliah di 200 universitas terbaik dunia. Di skala provinsi Aceh, pemerintah Aceh memberikan beasiswa LPSDM kepada putra-putri Aceh untuk belajar di pelbagai penjuru negara. Kesempatan untuk belajar gratis ini belum lagi ditambah dari beasiswa lainnya, seperti beasiswa Fulbright, Chauvening, Australia Awards, Erasmus, dst.

Kebijakan memberikan beasiswa adalah sebuah inverstasi jangka panjang. Hasilnya akan terasa 10 tahun mendatang. Meskipun demikian, aroma perubahan telah tercium sejak generasi terdidik ini menginjakkan kakinya di tanah tempat mereka belajar. Lihat saja rubrik “Citizen Reporter” yang selalu dimuat harian Serambi Indonesia. Saban hari kita membaca bagaimana putra-putri Aceh mendapatkan hal baru dari negara luar. Wawasan dan pikiran mereka semakin terbuka. Inilah fondasi peradaban Aceh yang sesungguhnya: pendidikan yang mencerahkan otak dan mental.

Sepulang dari menuntut ilmu, para sarjana ini resmi menjadi orang terdidik. Yang perlu mereka lakukan selanjutnya memetamorfosakan diri sebagai kaum terdidik yang tercerahkan. Karena ‘terdidik’ saja belum tentu ‘tercerahkan’. Dengan ilmu baru dan pengalaman hidup di negara luar, diharapkan terjadi refleksi atas realita sosial yang menimpa tanah kelahiran. Sehingga para inteletual muda ini bisa memilah ilmu dan pengalaman seperti apa yang bisa dibawa pulang untuk membangun Aceh kedepan. Kaum terdidik yang tercerahkan adalah generasi terpelajar yang ingin melakukan perubahan sosial melalui ilmu mereka, bukan sekedar bekerja di sebuah instansi dengan bayaran tinggi setiap bulan, lalu mengisolasi diri dari kehidupan luar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *