Dua Pasal Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam Qanun Jinayah Minta Dicabut

Berbagai elemen organisasi masyarakat sipil di Aceh yang selama ini konsen terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak meminta dua pasal tentang kekerasan seksual terhadap anak di Aceh dalam Qanun Jinayah untuk dicabut.

Hal itu disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) multipihak yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Flower Aceh, KontraS Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh dan Tim Revisi Qanun (Reqan), dengan tema “Urgensi Revisi Qanun Jinayah untuk Perlindungan Anak di Aceh” yang diadakan di Hotel Ayani, Senin, 18 Oktober 2021.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, mengatakan dalam Qanun Jinayah tidak ada aspek yang mengupayakan hukuman yang jera untuk pelaku, tidak ada upaya pemulihan terhadap korban dan tidak melakukan pencegahan terhadap pelaku.

“Kita minta dicabut pasal 47 dan 50. Ini bukan untuk melemahkan Qanun tapi ini untuk memperkuat Qanun Jinayah, agar makin kuat, tidak dianggap sebagai kebijakan yang tidak memiliki perspektif anak,” kata Syahrul.

Ia menjelaskan di Aceh terdapat dua aturan hukum terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pertama diatur melalui pasal 47 dan 50 Qanun Jinayah. Kedua, melalui Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA).

“Di Aceh dominan menggunakan Qanun Jinayah. Ternyata berdasarkan pengalaman selama ini Qanun Jinayah lebih lemah ketimbang UUPA,” ungkap Syahrul.

Ia menyampaikan dalam Qanun Jinayah tidak ada aspek mengupayakan pemulihan terhadap korban dan melakukan pencegahan terhadap pelaku. Di Qanun tidak ada ancaman pidana terhadap seseorang yang membujuk rayu anak untuk melakukan kekerasan seksual.

KBA.ONE : Dua Pasal Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Qanun Jinayah Minta Dicabut

“Sedangkan UUPA, baru bujuk rayu saja sudah dianggap upaya melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan bisa diancam pidana,” ujar Syahrul.

Syahrul menyebutkan ada tiga rujukan hukuman yang diajukan oleh Qanun Jinayah, hukum cambuk, hukum bayar denda dan kurungan. Ketiganya tidak bisa diakumulasi sehingga hakim wajib memilih salah satu diantara ketiga itu.

“Sedangkan di UUPA, hakim bisa menghukum pelaku, baik pidana kurungan, bayar denda dan restitusi terhadap korban,” tuturnya.

Masalahnya lagi, kata dia, adalah jika kemudian hakim memutuskan perkara itu dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman cambuk. Kemudian setelah dicambuk, pelaku kembali ke lingkungan.

“Kalau korban berada di lingkungan yang sama, bagaiman nasib korban?yang tidak ada perintah pemulihan terhadap anak dalam Qanun. Artinya, ketika pelaku kembali ke lingkungan dan berhadapan lagi dengan korban dia beresiko menjadi korban ganda,” tambahnya.

Advokat LBH Banda Aceh, Arbiyani, mengatakan beberapa putusan hakim yang sangat tidak ada perspektif anak di Aceh diakibatkan hakim dan aparat penegak hukum tidak bersertifikasi anak. Dalam putusan disebutkan bahwa hakim tinggi tidak mungkin mempertimbangkan kesaksian anak yang usianya masih 5 tahun.

“Padahal secara konstitusi anak di mata hukum sama dengan orang yang lain. Anak ini diakui bahwa dia memang boleh menjadi saksi, mereka dilindungi UU, dilindungi oleh konstitusi tapi hakim tinggi memiliki perspektif sendiri,” ucapnya.

Kumparan : Dua Pasal Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Qanun Cambuk Diminta Dicabut

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Darwati A. Gani, mengatakan saat ini masalah kekerasan seksual sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, DPRA sedang berusaha agar bisa masuk dalam revisi qanun dan bisa masuk Program Legislasi Daerah (Prolegda) prioritas yang akan dibahas tahun 2022.

“Saat ini ada 13 tim inisiator untuk penguatan Qanun Jinayah, kita akan terus melakukan pengawalan dan mohon dukungan semua pihak,” tegas Darwati.

Wakil Ketua II DPRA, Hendra Budian, menyampaikan angka kekerasan seksual yang tinggi tidak diikuti oleh anggaran yang tinggi terhadap Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) saat ini yang masih sangat kecil.

“Saat ini penganggaran hanya Rp18,9 miliar, ini menjadi kewajiban oleh pemerintah Aceh karena mereka memiliki keberpihakan dalam proses penganggaran, itu penting untuk itu dilakukan,” sebutnya.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengatakan sangat mendukung 13 tim inisiator yang dibentuk DPRA. Menurutnya, kegiatan seperti ini harus terus disosialisasikan kepada masyarakat sipil.

“Masyarakat juga harus tau apa yang menjadi permasalahan selama ini dalam Qanun Jinayah. Kita terus mendukung untuk memastikan kebijakan yang benar-benar melindungi anak dengan memperkuat qanun jinayah melalui revisi pasal-pasal yang dapat merugikan Anak,” tegasnya.

Direktur Flower Aceh, Riswati, mengapresiasi atas komitmen DPRA untuk melakukan penguatan Qanun Jinayah, dengan melakukan revisi pasal-pasal yang belum berpihak kepada Anak.


“Proses pengawalan kita semua harus terus berlanjut untuk memastikan agar proses pembahasan dan kebijakan yang diputuskan tersebut memberikan perlindungan komprehensif kepada Anak korban kekerasan seksual sebagaimana yang kita harapkan,” ujarnya.

Advokat LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyebutkan pihaknya bersama komunitas Reqan saat ini bersama tim perumus dari LBH Banda Aceh dan Reqan telah meyelesaikan hasil kajian terkait revisi Qanun Jinayah untuk segera disampaikan kepada DPRA.

Sumber: Kompasiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *