BANDA ACEH – Memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang diperingari sejak 25 November hingga 10 Desember, Flower Aceh beserta jaringannya, Millennial Empowerment, Forum Anak Tanah Rencong, Sekolah Ham Flower Aceh, Koalisi Perempuan Indonesia, PKBI, SeIA, Pekka, KPI, Balai Syura, dan Komisi Kesetaraan KSBSI Aceh mengadakan aksi longmarch dan orasi pada hari minggu, 8 Desember 2019, di sepanjang area Car Free Day, Banda Aceh.
“Aksi longmarch ini merupakan bagian dari rangkaian kampanye 16 HAKtP yang dilaksanakan oleh Flower aceh dan jaringan kerja-nya. Kegiatan pertama dimulai dengan nonton dan diskusi bertema akhiri kekerasan terhadap perempuan pada sabtu, 7 Desember 2019, series taklshow media, dan diskusi komunitas yang akan dilaksanakan di Banda Aceh, Pidie dan Aceh Utara,” kata Novia Liza, coordinator kampanye bersama 16HAKP dari Flower Aceh.
Presidium Balai Syura Aceh, Khairani Arifin dalam orasinya di panggung utama car free day Banda Aceh, mengatakan angka perkawinan usia anak sangat tinggi di Aceh, data yang ada di BKKN Aceh mencatat, di tiga kabupaten di Aceh, 25% dari 100 perkawinan adalah perkawinan usia anak. Anak-anak dinikahkan di usia muda dimana mereka belum siap secara psikologis, sosial dan fisik untuk menjadi ibu. “Pernikahan usia anak sangat rentan terhadap KDRT. Dan banyak kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi dilatarbelakangi pernikahan usia anak.” Untuk itu, Khairani melanjutkan, penting adanya mengkampanye menolak pernikahan usia anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua P2TP2A Aceh Amrina Habibi mengatakan dalam tiga tahun terakhir ada 5882 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tercatat. Dari data tersebut, sekitar 1133 korbannya adalah anak, dimana kejadian perkaranya di rumah atau di lingkungan terdekat anak, dan dilakukan oleh orang sekitarnya. “Siapa yang bertanggung jawab? Kita semua! Pemerintah sudah memiliki perangkat perlindungan perempuan. Kita memiliki qanun Perlindungan Dan Pemberdayaan Perempuan dan Peraturan Gubernur Tentang Penyelenggaraan Tatacara Penanganan Kekerasan Perempuan Dan Anak. Tapi peraturan itu saja tidak cukup, kalau kita tidak bersuara untuk menghentikan kekerasan ini. Kita semua harus bergerak tidak boleh membiarkan ini terjadi,” tegas Amrina.
Berbicara mengenai keterlibatan dan kepedulian masyarakat terhadap upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, founder Millennial Empowerment, Bayu Satria menekankan pentingnya keterlibatan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan terhadap perempuan.
“Kenapa laki-laki harus membela perempuan. Karena kita hidup bersama perempuan. Ketika kita bicara perempuan, Kita tidak bicara orang lain. Kita bicara tentang ibu kita, saudara kita. Jadi ini haruslah menjadi masalah kita (laki-laki) juga.” Jelas bayu.
Melanjutkan tentang pentingnya memaksimalkan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak, Amrina mengharapkan, Banda Aceh sebagai pusat kota Aceh menjadi ikon untuk kabupaten/kota lainnya. “Apa yang harus walikota lakukan adalah memastikan efektifitas layanan dan penuhi hak-hak korban secara cepat secara gratis.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh Syarifah Munirah juga mengutarakan keprihatinannya terhadap tingginya kekerasan terhadap perempuan, dan anak, serta pernikahan usia anak masih tinggi di Aceh. “Saya selaku anggota DPRK siap untuk mendukung dan bahkan siap bersama-sama, membuat qanun yang mengatur tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena kita sadar pembangunan itu berawal dari perempuan. Perempuan yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas juga. Jadi ayo kita bahu membahu. Ini bukan PR pemerintah saja tapi juga PR buat semua,” Tegas Syarifah.
Dukungan terhadap upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga disambut oleh Walikota kota Banda Aceh, Aminullah Usman, “Kami sangat mendukung segala upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Kami siap bersama DPR jika ada qanun dan perwal terkait dengan perlindungan perempuan dan anak yang harus disempurnakan bersama. Dan kami harap Banda Aceh bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam upaya perlindungan perempuan dan pemenuhan hak anak.
Aksi longmarch dimulai pada jam 7.30 dari titik Jambo Tape menuju arena panggung CFD Banda Aceh dengan melakukan orasi serta membawa alat kampanye yang berisikan himbauan, tuntutan, dan harapan yang beragam terkait dengan tema gerakan bersama aktifis perempuan Aceh 2019, “Stop kekerasan seksual dan perkawinan anak.”
Aksi ini juga akan diwarnai dengan aksi diam. Peserta Longmarch berbaris memanjang menggunakan drescode warna hitam dengan mulut diikat dengan pita sambil memegang infosheet berisikan kampanye penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak. Selain itu akan ada aksi theatrical, dimana 4 orang perempuan dengan representative yang berbeda terikat tangannya dan ditarik paksa. Aksi ini juga diisi dengan pengumpulan tanda tangan bersama pada spanduk bertuliskan “Stop Kekerasan Seksual & Perkawinan Anak” untuk memberikan dukungan pada upaya penghentian kekerasan seksual dan pencegahan kasus perkawinan anak di Aceh. Dan setiap warga yang menandatangani deklarasi bersama tersebut akan mendapatkan akan mendapatkan1 buah jeruk secara cuma-cuma. Pemilihan buah jeruk berwarna jingga (orange) juga merupakan warna simbolik yang dihubungkan dengan kampanye UN Women ‘orange the world’ yang menekankan warna jingga sebagai simbolis masa depan yang lebih cerah dan bebas dari kekerasan. Warna tersebut juga diartikan sebagai solidaritas untuk menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Kampanye 16HAKtP hari anti kekerasan terhadap perempuan merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Yang dimulai dari tanggal 25 November dan puncaknya pada 10 Desember. Tujuan 16HAKtP di antaranya, meningkatkan pemahaman publik mengenai kekerasan berbasis gender, gerak bersama lintas organisasi untuk memperkuat kerja-kerja penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, Sebagai strategi dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dan mendesak pemerintah agar mengeluarkan legislasi serta kebijakan yang memihak korban. 16 HAKtP hendak mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh dunia, kebisuan terhadap kasus-kasus kekerasan harus dipecahkan, dan dibutuhkan kepedulian bersama untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. ***