Banda Aceh (29/8), Flower Aceh menyelenggarakan diskusi publik Forum Multi Stakeholder (FMS) Kota Banda Aceh tentang implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan pada hari Rabu, 29 Agustus 2018 di Hotel Grand Arabiy. Kegiatan menghadirkan perwakilan instansi pemerintah, aparatur desa, LSM, akademisi, tokoh adat dan tokoh agama, filantropi dan swasta, serta perwakilan perempuan. SPM sebagai bagian dari pelaksanaan urusan wajib setiap unit Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan di daerah merupakan mandat yang harus dilakukan daerah. Pelaksanaan ini sebagai wujud tanggung jawab pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu, sesuai amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Permenkes Nomor 741 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, dan Undang Undang Pemerintah Aceh no 11 Tahun 2006 pasal 224 ayat (2) dan (3) tentang kewajiban setiap pendudukan untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal”, jelasnya.
Kasubbid Perencanaan Kesejahteraan sosial dan Kependudukan, Bappeda Kota Aceh, Open Misbah, S.ST, MPS.Sp menegaskan keseriusan Pemerintah kota Banda Aceh dalam mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan dasar kesehatan dan perlindungan perempuan dan anak.
“Pemerintah Kota Banda Aceh berkomitmen menghadirkan kualitas pelayanan dasar bidang Kesehatan, serta Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak yang bermutu. Komitmen ini telah tertuang dalam Dokumen RPJM dan juga terintegrasi dalam dokumen RAD SDGs Kota Banda Aceh yang sedang disusun. Realisasinya, tentu membutuhkan partisipasi penuh masyarakat dalam pencapaian target-target pelayanan minimal menuju maksimal”.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, dr Warqah Helmi menyebutkan capaian SPM bidang kesehatan terkait kesehatan reproduksi tahun 2017 terealisasi sesuai target. Indikator SPM yang tercapai meliputi cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan mencapai 98% (target 90%), cakupan pelayanan ibu nifas mencapai 98% (target 90%), cakupan kunjungan ibu hamil K4 mencapai 95,5% (target 95%), dan cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani mencapai 87,7% (target 87%). Sementara capaian SPM kesehatan terkait kesehatan reproduksi tahun 2018 meliputi cakupan ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar mencapai 46%, cakupan ibu bersalin mendapatkan pelayanan persalinan sesuai standar mencapai 46%, dan cakupan setiap warga negara Indonesia usia 15 s.d. 59 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar mencapai 41%.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga (DP3AP2KB) Kota Banda Aceh,dr. Media Yulizar, MPH menegaskan pihaknya telah melakukan berbagai upaya dan strategi untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Perlindungan perempuan korban kerasan telah dilakukan melalui upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan para pihak, penyediaan layanan rujukan bagi perempuan korban kekerasan, penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan. Upaya perlindungan khusus anak dilakukan dengan pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Yang Melibatkan Para Pihak, penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus”.
Lebih lanjut, terkait data kekerasan terhadap perempuan dan anak Tahun 2018, P2TP2A Kota Banda Aceh mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 90 kasus. Jenis kekerasan dalam rumah tangga.
Mewakili kelompok perempuan di desa, pengurus Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR), Rasyidah mengingatkan pihak pemerintah agar melakukan sosialiasasi terkait dengan isu kesehatan reproduksi di tingkat desa, menyelenggarakan dekteksi dini terkait kesehatan seksual dan reproduksi melalui papsmeer dan tes IVA secara berkala, gratis dan diiringi dengan edukasi. Juga dilakukan monitoring dan evaluasi yang melibatkan elemen sipil. Terkait upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rasyidah mengharapkan agar paralegal komunitas mendapatkan legalitas dalam menjalankan perannya di desa.
Proses kegiatan ini dipandu oleh Ketua PUSHAM Unsyiah, Khairani Arifin sebagai fasilitator yang menghasilkan peta tantangan dan keberhasilan dalam pelaksanaan pelayanan publik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, kasus-kasus kekerasan dan perlindungan perempuan sesuai dengan SPM, serta rumusan strategi percepatan pencapaiannya meliputi penyiapan peraturan daerah untuk melaksanakan SPM, ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran yang memadai, optimalisasi fungsi keluarga dan integrasi kegiatan, memperkuat koordinasi dan kolaborasi multipihak serta pelaksanaan monitoring-evaluasi partisipatif.