Haruskah Qanun Jinayah diberlakukan kepada masyarakat Non Muslim???

Banda Aceh, Rancangan Qanun Jinayah yang rencananya disahkan tanggal 26 September 2014 dalam siding paripurna DPR Aceh, menuai polemic kelompok lintas agama dan aktivis hak asasi manusia di Aceh. Pasalnya, materi yang terkandung di dalam rancangan itu dianggap sarat dengan pemaksaan terhadap masyarakat non muslim karena ada pasal yang menyebutkan bahwa qanun jinayah in iwajib berlaku untuk warga non muslim. Kondisi ini membuat masyarakat non muslim di Aceh khawatir dan merasa tidak nyaman menjalankan aktivitas ibadahnya di Aceh, karena mereka dipaksa tunduk dengan syariat Islam yang bukan agama mereka.

Suara kekhawatiran ini disampaikan olehTeuku Muhammad Jafar Sulaiman, pegiat Forum Islam Rahmatan Lil’alamin, yang menilai pemaksaan pemberlakuan qanun jinayah kepada warga non muslim merupakan pelanggaran HAM dan menciderai Islam sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin. Kalau qanun ini tetap dipaksakan, maka bukan tidak mungkin akan menghadirkan efek tidak baikbagi kerukunan beragama di Indonesia dan dunia. Wilayah lain yang didominasi non muslim, bisa jadi akan menerapkan aturan hukum yang mendiskriminasi warga muslim yang minoritas disana, ujarnya.

Oleh sebab itu Jafar menilai seharusnya seluruh fraksi di DPR Aceh mempertimbangan asas toleransi dalam pembahasan qanun ini.Jangan hanya melihat Aceh dalam konteks micro, melihat Aceh dalamkonteks kelokalan saja, tapi harus melihat jauh kedepan dalam konteks kerukunan umat beragama di Indonesia dan melihat kepada masa depan pembangunan Aceh, untuk kemakmuran rakyat Aceh, terutama eksistensi Aceh dalam rangka menyonsong pemberlakuan masyarakat ASEAN (ASEAN Community) 2015. Bahkan Jafar menilai, jika qanun ini tetap dipaksakan berlaku, bukan tidak mungkin akan merusak citra Aceh di tingkat internasional, ini sangat kontras dengan program Pemerintah Aceh yang sedang giat-giatnya mengundangi nvestasi asing di daerah ini untuk membangun Aceh.

Dalam konteks implementasinya, qanun ini juga berpotensi tidak bias dijalankan secara merata di Aceh. Di Aceh Tenggara misalnya, masyarakat non muslim jumlahnya cukup banyak di wilayah itu, maka jika diberlakukan akan berpotensi besar memicu konflik horizontal jika mereka dipaksa tunduk kepada hokum jinayah. Paling qanun ini hanya bias dijalankan di wilayah pesisir. Kalau itu yang terjadi, maka terjadi ketidakadilan dalam penerapannya, ujar Jafar. Hal ini sudah pasti akan merusak citra syariat Islam itu sendiri.

Hal senada juga disuarakan oleh Al, selaku tokoh masyarakat non muslim di Aceh yang sangat menyayangkan sekali jika Qanun Jinayat ini juga diberlakukan bagi warga non muslim dalam sebuah diskusi membahas isu toleransi dan kebebasan beragama di Aceh pada, Kamis (25/9).

Al menilai, pemaksanaan itu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945,sambil mengutip pernyataan Zulfikar Muhammad, direktur Koalisi NGO HAM yang menyebutkan dalam salah satu media massa, bahwa : jika aturan terhadap non Muslim tetap dipaksakan, bias saja ini dianggap sebagai perbuatan melawan hukum Negara. Lebih aneh lagi, ungkap Al, dalam Asas dan Ruang Lingkup yang tercantum di dalam Rancangan itu disebutkan kalau tujuan pembentukan qanun ini adalah untuk memberi perlindungan kepada Hak asasi Manusia (pasal 2 Bab 2), namun Kenyataannya, apakah rancangan qanun yang akan diberlakukan kepada masyarakat non muslim tidak merupakan pelanggaran HAM ?. Jika semua warga non muslim dipaksa tunduk dengan syariat Islam, itu bukan penegakan HAM, tapi pemaksaan hukum Islam untuk agama lain, ujar Al. Situasi ini, menurutnya, bias memunculkan kesan kalau masyarakat Aceh tidak toleran dengan agama lain. Padahal di Aceh tidak hanya berdiam masyarakat muslim, tapi juga ada komunitas non muslim, namun demikian Al berpendapat wargan on muslim yang tinggal di Aceh wajib untuk menghormati ajaran syariat Islam.

Perdebatan tentang pemberlakuan Qanun jinayah bagi non muslim di Aceh sebenarnya tidak hanya mendapat sorotan dari masyarakat non muslim di daerah ini. Sejumlah media internasional juga banyak menulis kasus diskriminasi di Aceh terkait dengan penerapan syariat Islam di wilayah ini.

Dalam pertemuan sejumlah wartawan asing dengan Kepala Dinas Syariat Islam Prof. Syahrizal Abbas masalah ini sempa tdipertanyakan. Namun Syahrizal menegaskan bahwa hokum syariat Islam di Aceh hanya berlaku bagi warga muslim. Sedangkan yang non muslim hanya diminta menghormatinya.

Tapi dalam kenyataannya, dalam rancangan Qanun Jinayah yang akan disahkan, aturan syariat Islam ini ternyata akan diberlakukan juga bagi masyarakat non muslim. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *